Wednesday, November 15, 2017

Melibatkan Anak (Siswa) di Kelas. Memang Bisa??

Tulisan ini tulisan nostalgia namanya.
Kenapa nostalgia, karena isinya dalah cerita saat mengajar di sekolah yang lama. Fix aku belum move on dari yang namanya ngajar, hehe

Well, banyak yang bilang mengajar anak usia dini itu susah-susah gampang. Ini ada benarnya, ada juga gak benarnya. 
Kenapa benar? Karena minat eksplorasi anak sedang tumbuh dan berkembang pesat, sehingga ketika diarahkan ada anak-anak yang mungkin lebih suka mencoba dengan caranya sendiri dibandingkan cara yang disampaikan guru
Kenapa gak benar? Karena si minat eksplorasi ini sebenarnya bisa dijadikan jembatan untuk mengolah dan mengembangkan kemampuan anak di berbagai bidang, seperti sosial interaksi, bahasa, bahkan kebiasaan positif.
Tapi bagaimana caranya? Nah ini yang akan saya bahas.

Sekitar tiga tahun lalu saya pernah mengawali tahun mengajar dengan mengajar sendiri, hanya ditemani guru pendamping ABK, karena partner mengajar saya sedang cuti melahirkan. Bayangkan saja saya yang saat itu guru yang baru masuk tahun ketiga mengajar, memegang 20 anak yang  dalam masa peralihan dari PG ke TK, kebayang ya kalo semua aspek perkembangannya sedang berkembang pesat. Mulanya saya masih bisa mengontrol kelas dengan aturan yang saya buat sendiri, seperti duduk tenang, jangan terlalu banyak suara di kelas, dan sebagainya. Tapi saat anak-anak mulai nyaman di kelas, mulai menemukan teman cerita yang asyik, anak-anak cenderung sulit diarahkan. Saya mulai kewalahan dan harus putar otak bagaimana cara mengatasinya. Saya pun mulai diskusi dengan guru pendamping di kelas, diskusi dengan teman-teman guru lain di sekolah, bahkan dengan pengelola sekolah. Sarannya sama, yaitu melibatkan anak.

Saran untuk melibatkan anak dalam kegiatan kelas cukup aneh buat saya. Awalnya saya pesimis ini akan berhasil, dalam bayangan saya, anak usia dini itu masih minim pengalaman hidupnya (berasa tua banget ya saya), jadi masih harus "disuapi" dengan berbagai pengetahuan dan pengalaman. Tapi saya tetap mencoba sarannya, siapa tahu berhasil. 

Lalu saya mulai melakukan pengamatan pada anak, dan mulai melakukan pendekatan personal. Pendekatan personal di sini dalam artian saya ajak ngobrol anak-anak, saya ikuti cara mereka bermain, dan saya mulai mengajukan pertanyaan seputar kelas, seperti apa rasanya main di kelas yang semua anak-anaknya asyik sendiri dan tidak saling mendengarkan, apa bedanya dengan berada di kelas yang semua orang mau mendengarkan dan mau membantu, dan sebagainya.
Setelah mendapat beberapa jawaban sebagai gambaran perasaan mereka, saya ajak anak-anak berdiskusi bersama-sama. Saya sampaikan apa yang saya rasakan, saya ceritakan pendapat beberapa anak-anak  tentang apa yang mereka rasakan, dan diakhiri dengan membuat kesepakatan kelas.
Saat itu kesepakatan yang berhasil dibuat adalah :
1. Mendengarkan saat ada yang sedang berbicara dan tidak memotong pembicaraan
2. Mengangkat tangan tanpa bersuara saat ingin berbicara atau mengutarakan pendapat
3. Mengingatkan teman untuk menghargai guru dan teman lainnya
Jujur saja saat itu saya merasa bahagia karena ternyata pikiran saya salah, anak-anak bisa kok dilibatkan dalam kegiatan kelas, bahkan sampai-sampai anak-anak bisa juga diajak membuat kesepakatan bersama. Keren banget.

Photo by Larm Rmah on Unsplash

Dalam pelaksanaannya, kesepakatan untuk menghargai orang lain itu berkembang menjadi terbangunnya empati di diri anak. Hal ini terlihat saat saya harus mengajar sendiri, dengan sesekali didampingi guru lain atau pengelola, ketika guru pendamping ABK terpaksa mengundurkan diri karena sakit. Saat itu anak-anak lebih spontan mengingatkan anak lain untuk menghargai guru. Saya pun berfikir rasanya sayang kalau kemampuan mereka hanya berkembang di sini saja, sehingga saya coba untuk mengembangkan lagi empati mereka dengan mengajak berdiskusi tentang teman mereka yang berkebutuhan khusus, apa kira-kira rasanya menjadi anak yang kesulitan belajar, yang sulit mengerti apa yang disampaikan guru atau temannya, apa yang akan mereka lakukan. Anak-anak spontan berkomentar bahwa mereka ingin membantu. Menurut mereka, mereka senang jika dibantu saat kesulitan, mereka juga merasa senang jika bisa membantu teman. Dan saat diskusi bersama, mereka meminta agar hal ini dimasukkan dalam kesepakatan kelas, yaitu membantu teman yang kesulitan. Bentuk bantuan yang diberikan macam-macam, berupa mengajak anak lain untuk ikut membantu, memberi bantuan langsung, atau bahkan menyampaikan dan meminta bantuan guru untuk ikut membantu jika mereka kesulitan. Ternyata kegiatan saling membantu ini berhasil menumbuhkan kebiasaan positif di anak dan membuat terbentuknya peer teaching di antara anak-anak. Hebat ya, saya aja takjub karena ternyata anak-anak bisa kok dilibatkan dalam kegiatan kelas. Bahkan ada banyak hal yang bisa berkembang seiring dengan keterlibatan mereka dalam kegiatan kelas. Seru!!

Jadi jawaban untuk pertanyaan di atas, tentang bisakah anak dilibatkan dalam kegiatan kelas? Jawabannya bisa.
Bagaimana caranya? Banyak, beberapa diantaranya adalah
  1. Observasi kelas, tujuannya untuk mencari tahu apa kebuutuhan kelas, untuk mengetahui karakter kelas - karakter anak, dan untuk mengetahui tahap perkembangan anak
  2. Diskusi dengan partner atau teman guru lain, tujuannya untuk dapat sudut pandang dari guru lain
  3. Atur strategi, lakukan pendekatan, ajak anak diskusi
  4. Evaluasi, refleksi, dan observasi lagi. Begitu seterusnya

Selamat berkegiatan dengan anak

No comments: