Thursday, December 21, 2017

Lego dan Maze

Dalam kereta di perjalanan ke Bandung dan inget kalo 3 tahun lalu, ditanggal yang nyari sama pernah menposting tulisan ini.. Sayang kalo gak di share lagi


Memang benar kata orang, inspirasi bisa datang kapan saja dan dimana saja. 
Kegiatan yang satu ini pun datangnya gara-gara browsing ide kegiatan main lego di Pinterest dan ternyata yang ditemukan adalah sebuah kegiatan menarik untuk anak sebelum ia masuk ke tahapan bermain dengan paper pencil. And yes, kegiatan itu adalah kegiatan bermain maze. 

Mungkin belum banyak yang tahu apa itu main maze. 
Yeap, seperti halnya film Maze Runner, main maze itu bisa juga disebut sebagai main mencari jalan keluar di labirin. Kegiatan main maze sendiri mempunyai banyak fungsi, diantaranya :
1. Memperhalus gerakan tangan
2. Dapat memperbaiki tulisan dan gambar anak

3. Memperkuat konsentrasi
4. Melatih menyelesaikan masalah (problem solving

Sayangnya tidak semua anak mahir bermain maze. Untuk membantu anak agar paham dengan cara bermain maze, saya mengaplikasikan ide bermain maze dengan lego dan duplo yang saya dapat di Pinterest. Media yang digunakan adalah lego atau duplo, papan alas dan kelereng. Jika semua alat bahan sudah tersedia, kita tinggal menyusun lego atau duplo itu di atas papan alas membentuk sebuah maze atau labirin. Namun ada satu hal yang harus diperhatikan, maze untuk anak usia 2-4 tahun tentu saja berbeda dengan maze untuk anak berusia 4-5 tahun. Tingkat kesulitannya haruslah diperhatikan dan tahapannya haruslah disesuaikan dengan kemampuan anak. Mulai dengan maze sederhana terlebih dahulu, jika anak sudah berhasil, barulah naikkan tingkat kesulitannya secara bertahap

Maze untuk anak TKA (usia 4-5 tahun)
Maze untuk anak usia 2-4 tahun
Selain maze berukuran kecil, kami juga membuat maze berukuran raksasa. Maze berukuran raksasa ini tentu saja memiliki fungsi yang tidak jauh berbeda dengan maze berukuran kecil, hanya saja maze raksasa ini mempunyai fungsi tambahan lainnya, yaitu melatih kordinasi, akurasi dan keseimbangan anak serta melatih kerjasama anak. Maze berukuran raksasa ini bisa dibuat dengan menggunakan block atau giant brick. Dan tentu saja prinsip pembuatannya masih sama dengan maze berukuran kecil, harus disesuaikan dengan umur dan kemampuan anak.
Maze raksasa untuk anak Klab (usia 2-3 tahun)
maze raksasa untuk anak TKA (usia 4-5 tahun)
Selamat mencoba..

Thursday, December 7, 2017

"The Good Life"Danish Documentary Movie : Sebuah Ulasan dan Hasil Diskusi

Hari ini saya bersama tim manajemen mengikuti kegiatan kerjasama sekolah kami, Sekolah Kembang dan Kineforum. Kegiatan yang saya ikuti itu adalah menonton film The Good Life.
Karena bekerjasama dengan sekolah, maka saya yakin sekali yang akan dibahas pasti tidak jauh dari dunia pendidikan. Tapi topik bahasannya tentang apa, itu yang saya masih belum paham.

The Good Life adalah sebuah film dokumenter yang menceritakan kehidupan Mette Beckman dan Anne Mette Beckman, seorang ibu dan anaknya, di sebuah kota di Portugis. Terlihat biasa saja, cerita sehari-hari, namun ternyata problemnya bukanlah problem sehari-hari.

Mengapa ini bukan problem sehari-hari?

Sebelum saya jawab, saya lanjutkan dulu sinopsis ceritanya ya.
Jadi dua anggota keluarga ini sebelumnya adalah orang-orang yang termasuk berada pada masanya. Namun kehidupan mereka perlahan berubah 180͒  sejak sang ayah meninggal. Perlahan kekayaan mereka lenyap. Jika sebelumnya mereka tinggal di rumah megah bak istana lengkap dengan segala fasilitasnya, sekarang mereka tinggal di rumah petak dengan fasilitas seadanya. Jika sebelumnya mereka bisa melakukan appaun tanpa khawatir dengan biayanya, sekarang mereka terpaksa berhutang untuk memnuhi kebutuhan mereka.
Masalahnya mulai muncul saat keduanya seperti sulit menghilangkan kebiasaan lama mereka. Mereka sulit mengubah gaya hidup mereka, bahkan keduanya seolah belum bisa move on dari kenangan masa lalu mereka, yang terlihat dari masih seringnya mereka mengunjungi rumah lama mereka yang kini sudah berganti kepemilikan, atau bahkan melihat video lama mereka, yang akhirnya membuat si anak merasa kesal, marah, dan menyalahkan semua pada si ibu.

suasana di ruang bioskop mini Kineforum sebelum pemutaran film
Gemas. Sedih. Takut.
Itu berbagai respon yang ditunjukkan para penonton yang ikut menyaksikan pemutaran film ini.
Gemas karena si anak yang sulit merubah gaya hidupnya, padahal kehidupan ekonomi mereka sangat sulit. Gemas juga karena si ibu hanya memberi respon datar saat si anak mengeluh dan menyampaikan harapannya.
Sedih karena si anak yang selalu menyalahkan si ibu atas kondisi dirinya dan keadaan kehidupan mereka sekarang.
Takut bila hal yang sama terjadi pada diri mereka, para penonton.

Lalu apa kira-kira respon narasumber diskusi film ini?

Menurut Ibu Anna Surti Ariani, S.Psi. M.Psi atau yang lebih dikenal sebagai Ibu Nina, seorang psikolog anak dan keluarga, ia pun ikut merasakan apa yang dirasakan oleh penonton lainnya. Beliau berharap setiap penonton tak hanya larut dalam beragam gradasi emosi itu saja, namun harus juga mengambil pelajaran dari film tersebut termasuk mencari tindak lanjut yang mungkin akan dilakukan.
Sedangkan menurut Bapak Marvin Suwarso, Direktur Sekolah Kembang yang juga merupakan coach, trainer, dan wirausahawan, film ini adalah salah satu tontonan yang dapat menjadi contoh tentang pentingnya financial literacy sejak dini

Suasana diskusi bersama Ibu Nina dan Bapak Marvin, dipandu Ibu Lucky
Ternyata komentar Bapak Marvin ini mengundang pertanyaan dari salah satu peserta, Bapak Yusuf. Beliau bertanya tentang sedini apa kita bisa mengajarkan tentang materi pada anak, jika dibandingkan dengan makna dan nilai kehidupan? Bagaimana dengan makna dan nilai itu sendiri, sejak kapan bisa diajarkan pada anak?
Menurut ibu Nina, nilai dan makna kehidupan sudah bisa diajarkan sejak dini pada anak. Caranya adalah melalui figur terdekatnya, yaitu orang tua. Bagaimana caranya? Tentunya melalui perilaku orang tua. Nilai-nilai baik yang dianut sebuah keluarga yang diajarkan pada anak itu nantinya akan membantu anak dalam memaknai tentang materi dan kebahagiaan dalam hidup. Misalnya jika anak diajarkan nilai kejujuran, saling menyayangi, membantu orang, bertanggung jawab, berfikir kritis, butuh bukan ingin, dan sebaginya, maka saat dikenalkan tentang materi, si anak sudah bisa menilai kebermaknaan materi itu untuk dirinya, apa manfaatnya, bagaimana cara mengelolanya, dan sebagainya.

Lalu bagaimana cara mengajarkan anak untuk memaknai tentang materi itu sendiri?
Bapak Marvin memberi jawaban dari sudut pandang pewirausaha bahwa ada tiga skill yang harus diajarkan pada anak, yaitu bagaimana menambah pendapatan, meningkatkan nilai barang yang kita miliki, dan bagaimana cara mengurangi pengeluarannya. Cara mengajarkannya melalui rutinitas dan kegiatan permainan sehari-hari, misalnya saat anak akan membeli barang, berarti akan ada barang yang harus ia keluarkan; melalui permainan monopoli; membuat catatan pengeluaran, dan sebagianya. Hal ini perlu dilakukan karena membahas uang dengan anak bukan lagi hal yang tabu.
Ibu Nina menambahkan bahwa anaak bisa diajarkan tentang materi sesuai tahapan perkembangannya. Misal di usia 1- 2 tahun, di tahapan otonomi diri anak mulai muncul, anak bisa diajak memilih satu di antara dua benda yang ia inginkan, orang tua bantu mengajak anak melihat kelebihan dan kekurangan dua benda itu dan nilainya sebelum memutuskan pilihannya,. Di usia lima tahun ke atas, anak sudah bisa diajak memilih dengan melihat manfaat benda yang diinginkan, diajak memilah apakah ini sekedar keinginan semata atau memang merupakan kebutuhan, dan sebagainya.

Selanjutnya penonton kembali bertanya, tentang bagaimana cara mempersiapkan anak menghadapi dunia nyata yang mungkin tidak selalu indah.
Kebahagiaan adalah sebuah pilihan merupakan komentar awal yang disampaikan oleh Bapak Marvin. Menurutnya yang harus dilakukan orang tua adalah menyiapkan lingkungan yang kondusif untuk anak dan latih anak untuk menghadapi beragam gradasi kehidupan. Ia juga menyarankan agar orang tua memprovokasi anak, mengajak anak berfikir kritis tentang harapannya dalam jangka waktu yang logis dan dekat dengan anak, misalnya apa barang yang ia ingin beli dalam tiga bulan kedepan, atau ingin setinggi apa ia setahun mendatang, dan sebagainya. Pertanyaannya mengapa harus yang dekat dengan anak dan logis, jawabanya sederhana karena ini lebih nyata, lebih konkret untuk anak.
Sedangkan menurut Ibu Nina, jawabannya sangatlah beragam, tergantung sudut pandang mana yang ingin dilihat, karena film ini sendiri memperlihatkan banyak hal selain financial literacy, diantaranya seperti hubungan antar pasangan, kedekatan dan ikatan dalam keluarga, relasi dan pengasuhan, dan sebagainya. Namun yang paling terlihat dan dapat dilakukan orang tua jika berpatokan dari film itu secara umum adalah mengenai respon orang tua pada anak. Orang tua diharapkan dapat memberi respon positif atas usaha dan hal-hal yang dilakukan atau terjadi pada anak. Beri perhatian pada harapan anak, dukung anak agar harapan itu bisa menjadi sesuatu yang nyata dan konkret.

Keluarga Beckman di masa kejayaannya
Sumber Google
Untuk menutup diskusi, masing-masing narasumber dimintai pendapatnya tentang cara agar anak tidak lagi bergantung pada orang tua di saat ia dewasa. 
Cara yang bisa dilakukan orang tua menurut ibu Nina adalah dengan menciptakan ruang untuk membangun hubungan yang sehat. 
Menurut Bapak Marvin, orang tua bisa membantu dengan diskusi membahas tiga topik. Pertama tentang keinginan dan yang tidak diinginkan anak, kedua kondisinya dan lingkungannya saat ini, ketiga tentang rintangan yang dihadapi. Pemaparan tentang rintangan itu haruslah mencakup tentang pilahan rintangan mana yang bisa diubah, diatasi saat ini, tidak bisa diatasi sekarang, atau bahkan tentang rintangan yang hanya bisa diterima dan dimaklumi saja. Selanjutnya adalah jalani hidup dengan sebaiknya.

Setelah kegiatan ini usai, saya mencoba merenungi semuanya. Ada banyak pelajaran yang saya dapat dari diskusi yang sudah dilakukan, salah satunya adalah mengenai pentingnya untuk tahu tahapan perkembangan anak dan pentingnya pengelolaan emosi orang tua, tujuannya agar orang tua bisa berdiskusi dengan sehat bersama pasangan, membangun relasi yang sehat dan kuat dalam keluarga, dan memberi respon tepat pada anak sesuai kebutuhan dan tantangan tahapan perkembangannya. Sehingga anak juga siap menghadapi tantangan kehidupan di masa mendatang dengan bekal yang sudah diberikan orang tua sesuai nilai dan perilaku baik yang dibangun dalam keluarganya.

Kira-kira selanjutnya film apa lagi ya yang akan diputar dan didiskusikan oleh Sekolah Kembang dan Kineforum ya?

Saturday, November 25, 2017

Kelas Disiplin Positif Keluarga Kita : Pengelolaan Emosi

Saat pertama kali tau tentang Keluarga Kita, saya langsung tertarik dan mulai mencari tahu lebih banyak tentang komunitas ini. Awalnya saya ragu untuk bergabung, karena dalam pikiran saya hanya ibu-ibu beranak saja yang bisa ikutan. Ternyata eh ternyata itu pemikiran yang salah.

Keluarga Kita dikelola oleh relawan yang disebut sebagai Rangkul (Relawan Keluarga Kita).
Rangkul ini adalah sebuah program pemberdayaan keluarga yang diinisiasi oleh Keluarga Kita dengan dukungan berbagai kalangan di berbagai daerah. Yang artinya saya yang belum beranak pun bisa ikutan jadi Rangkul, untuk ikut menyebarkan praktik baik tentang pengasuhan dan belajar lebih banyak dan dari sudut pandang berbeda tentang pengasuhan melalui kelas berbagi cerita, yang tujuannya adalah untuk perkembangan anak.

Ada tiga materi utama (kurikulum) yang dibahas dalam kegiatan Keluarga Kita, salah satunya adalah Disiplin Positif.
Disiplin Positif ini sesungguhnya adalah bagian kedua dari kurikulum yang dipelajari, setelah Hubungan Reflektif dan sebelum Belajar Efektif.
Jika Hubungan Reflektif belajar tentang pemahaman diri orang tua (orang dewasa) dan memiliki hubungan yang baik, Belajar Efektif belajar tentang bagaimana menumbuhkan anak cerdas dengan memberikan proses belajar yang menantang dan menyenangkan, maka Disiplin Positif berfokus pada topik anak yang mandiri tumbuh dari penerapan pola disiplin tanpa kekerasan, hukuman, dan sogokan.


Tahap awal belajar menerapkan disiplin positif adalah memahami dulu perkembangan anak.
Mengapa memahami tahap perkembangan anak menjadi penting?
Hal ini tak lain agar orang tua dapat melihat anak secara utuh dan memiliki ekspektasi yang realistis atas perkembangan dan pencapaian anak.

Ada empat aspek perkembangan anak yang harus diperhatikan orang tua

  1. Aspek sosial emosi, meliputi hal yang dirasakan tentang diri, hubungan / berelasi dengan diri dan orang lain, manajemen emosi
  2. Aspek kognitif, membahas mengenai proses pembentukan berpikir sejak lahir hingga dewasa yang meliputi kemampuan mengingat, kemampuan belajar, kemampuan memecahkan masalah, kemampuan membuat keputusan, dan sebagainya
  3. Aspek fisik, membahas mengenai proses perkembangan motorik kasar dan halus, yang meliputi kemampuan mengontrol, kordinasi, keseimbangan, dan kekuatan (tubuh dan otot)
  4. Aspek bahasa, membahas kemampuan berkomunikasi, meliputi komunikasi lisan, tulisan, mendengar, berbicara, menulis, membaca, termasuk juga komunikasi visual.
Keempat aspek ini membantu orang tua untuk masuk ke masalah disiplin diri. Caranya adalah dengan menerima keunikan anaknya tanpa membandingkan dengan anak lain, sehingga orang tua bisa membangun rutinitas yang berujung pada disiplin positif, yang memang disesuaikan dengan kemampuan anak dan dengan ekspektasi orang tua yang realistis.

Untuk memahami apakah ekspektasi yang ditetapkan orang tua sudah tepat atau sudah realistis atau belum, orang tua haruslah memahami dulu emosi yang melekat di dirinya, agar ia dapat mengambil langkah pengelolaan emosi yang tepat juga.

Berikut adalah 5 emosi dominan pada orang tua dan cara penanganannya:

1. Emosi Marah 
Emosi ini paling terlihat jelas wujudnya dibanding emosi lain. 
Biasa terjadi saat ekspektasi ke anak yang terlalu tinggi dan ada perasaan tidak bisa memenuhi ekspektasi diri yang sudah ditetapkan. 
Cara mengatasinya adalah dengan cara menangkan diri lebih dahulu. Setelah tenang, kemukakan bahwa kita marah, lalu fokus bahas masalah disiplin yang dilanggar, bukan hal penyerta lainnya. Pastikan juga kalau kita selalu siap dengan emosi marah ini, sehingga kita bisa tahu cara mengatasi atau menurunkan tensinya.

2. Emosi Merasa Bersalah
Biasa dialami perempuan, dan terjadi karena ekspektasi yang terlalu rendah pada anak.
Cara mengatasinya adalah dengan mencari support group yang bisa memahami, menerima dan paling penting membantu memberi soslusi penanganan. Setelah itu fokuslah pada tujuan perkembangan anak dan tujuan jangka panjang, sehingga bebas dari "manipulasi" yang ada (anak).

3. Emosi Tidak Enakkan
Terjadi karena ekspektasi yang terlalu rendah pada anak
Cara mengatasinya adalah dengan selalu melihat pada tahap perkembangan anak dan mencoba bersikap sesuai dengan tahap perkembangan anak itu. 
Jika ini terjadi, orang tua harus menyadari bahwa sikap khawatirnya dapat membuata anka merasa tidak dipercaya dan pasti berdampak buruk pada tahapan perkembangannya di masa mendatang.

4. Emosi Khawatir
Terjadi karena ekspektasi yang terlalu rendah atau terlalu tinggi pada anak.
Cara mengatasinya adalah dengan memberi latihan untuk mempersiapkan anak mengahadapi beragam situasi.

5. Emosi Ingin Mendapat Pengakuan
Terjadi karena rasa egosentris di diri orang tua, dimana orang tua berfokus pada pandangan orang lain tentang dirinya, dan kebutuhan untuk dianggap dengan label tertentu
Cara mengatasinya adalah dengan menyadari keberadaan emosi anak. Lalu orang tua lansung lompat ke emosi anak, bukan ke dirinya. Empati dengan emosi anak. Ajak anak mencari suasana tenag, redakan emosinya, lalu bahas kesepakatan yang sudah dibuat. 
Catatan penting yang harus diingat juga adalah pastikan bahwa orang tua sudah melakukan rutinitas dan kesepakatan dengan anak dan keluarga


Ternyata topik emosi ini penting sekali diketahui orang tua. Dan menurut saya ini menjadi dasar untuk masuk ke tahapan lain dalam membangun disiplin positif di keluarga selain memahami tahapan perkembangan anak.



Cerita tentang topik lain akan dibahas di tulisan selanjutnya. Atau bisa baca buku Keluarga Kita yang ditulis ibu Najelaa Shihab untuk tahu lebih banyak lagi masalah ini. Atau lihat disini untuk tau dari sudut pandang guru.

Disiplin Positif

Pertama kali mendengar kata Disiplin Positif, yang ada di benak saya adalah cara penanganan anak jaman now. Lalu beberapa waktu kemudian, saya kembali mendengar kata ini di penjelasan mengenai kurikulum Komunitas Keluarga Kita (KK). Dan belakangan ini saya kembali mendengar kata ini saat bergabung dalam Komunitas Guru Belajar (KGB).

Sebenarnya apa sih Disiplin Positif itu?
Mengapa kata-kata ini seperti jadi tren tersendiri di dunia perparentingan?

Jumat, 4 November 2017 yang lalu, di diskusi Temu Pendidik Mingguan KGB, narasumber saat itu, Guru Mahayu, membawa topik tentang disiplin positif sebagai bahan diskusi. Saat itu saya merasa senang, karena sedikit banyak pertanyaan saya akan segera mendapatkan jawabannya. Ternyata benar saja, saya dapat menemukan poin penting dari diskusi yang terjadi, meskipun saat itu saya hanya menjadi peserta pasif saja. 

Beberapa poin penting yang saya ambil dari bahasan guru Mahayu, yaitu
🔺 Disiplin positif bertujuan tidak hanya untuk patuh pada peraturan, tapi juga merupakan kemampuan untuk mengelola diri, mengetahui mana yang baik dan tidak untuk dirinya.
🔺 Libatkan anak dalam membuat peraturan atau kesepakatan dalam kelas
🔺 Pahami peran atau posisi kontrol kita dalam interaksi dengan murid. Ada lima posisi kontrol guru. Kelimanya memiliki kelebihan dan kekurangannya masing-masing. Namun untuk mendapat hasil dalam jangka panjang disarankan guru berada dalam posisi ke-4 dan ke-5.
🔺 Posisi kontrol tersebut adalah :
    1. Menjadi penghukum
    2. Menjadi Pembuat Rasa Bersalah
    3. Menjadi Teman
    4. Menjadi Pengawas
    5. Menjadi Manager

Sampai di sini pertanyaan saya cukup terjawab.
Kemudian seminggu setelahnya, di kegiatan yang sama, di Temu Pendidik Mingguan KGB, saya kembali mendapat tambahan jawaban atas pertanyaan saya mengenai disiplin positif ini.
Saat itu narasumber, Guru Mia Savitri, membawakan materi tentang Memanusiakan Hubungan, namun ia menyertakan materi disiplin positif juga dalam bahasannya, dan bahkan ia mengaitkan keduanya, antara memanusiakan hubungan dan disiplin positif, menjadi satu kesatuan. 

Berikut adalah poin penting yang saya ambil dari bahasan yang Guru Mia sampaikan, yaitu
🔻 Memanusiakan hubungan berarti menyadari bahwa setiap pribadi adalah unik dan memiliki keunikan. Dan dalam setiap keunikannya itu, setiap pribadi memiliki harapan dan layak mendapat  kepercayaan
🔻 Guru dan orang tua memiliki peran penting dalam proses memanusiakan hubungan, diantaranya dengan :
  🔽 Menyadari bahwa setiap anak unik dan memiliki keunikan (ini tambahan penting menurut saya)
  🔽 Mengenali karakter, keunikan, dan kebutuhan setiap anak
  🔽 Menghargai ide / gagasan / inisiatif / kebutuhan anak
  🔽 Menfasilitasi hal-hal di atas dengan membuat kesepakatan bersama
🔻 Memanusiakan hubungan adalah pondasi awal untuk membangun komunikasi positif dengan anak, yaitu antara guru dan murid atau orang tua dan anak. Sehingga dapat dikatakan bahwa komunikasi positif adalah perwujudan dari memanusiakan hubungan.
🔻 Komunikasi positif dapat menjadi dasar dari penerapan disiplin positif yang pada akhirnya berpusat pada perkembangan anak di masa depannya. 
🔻 Dengan menerapkan disiplin positif, anak-anak diharapkan mampu :
     a. Mengembangkan perilaku positif yang bertahan dalam jangka panjang
     b. Mengembangkan kemampuan untuk mengelola diri dan tahan godaan
     c. Mengembangkan motivasi internal (kemampuan melakukan hal positif atas dorongan diri bukan atas suruhan orang lain)  dengan pembiasaan sejak diri

flow chart kaitan memanusiakan hubungan dan disiplin positif yang saya simpulkan
Tambahan penjelasan ini menambah lagi pemahaman saya mengenai disiplin positif, meskipun awalnya cukup membingungkan saya, hehe. 

Lalu dua hari yang lalu, Kamis, 23 November 2017, saya mengikuti kelas kurikulum Keluarga Kita dengan topik mengenai Disiplin Positif. Hati saya bersorak gembira, karena saya yakin akan mendapat tambahan penjelasan lain yang akan melengkapi pemahaman saya. Bahkan mungkin memperluas wawasan saya, karena saya akan melihatnya dari sudut pandang orang tua.

Buklet materi Disiplin Positif dari Keluarga Kita
Kelas kurikulum Keluarga Kita dipandu langsung oleh Ibu Najelaa Shihab selaku founder dari Keluarga Kita. Materinya dibagi dalam beberapa bagian dan berlangsung selama lebih kurang enam jam. Saat mengikuti kelasnya, saya kembali merasa bersyukur karena keyakinan saya berbuah hasil, saya kembali mendapat beberapa poin penting dari materi yang disampaikan yang ternyata tidak berbeda jauh dengan pendapat dari sudut pandang guru, bahkan melengkapi materi yang sudah disampaikan guru-guru tersebut.

Poin penting yang saya dapat dari kelas Kurikulum Disiplin Positif  Keluarga Kita, yaitu
🔺 Untuk menerapkan disiplin positif, orang tua harus tahu dulu tahapan perkembangan anak dan  berespon positif dalam meresponnya. Orang tua juga harus dapat mengelola emosinya dengan tepat (topik ini tuliskan di sini ^^) 
🔺 Memahami perkembangan anak secara menyeluruh membantu orang tua untuk melihat anak secara utuh dan memiliki ekspektasi yang realistis atas perkembangan dan pencapaian anak.   
🔺 Menurut ibu Najelaa Shihab, disiplin diri anak dimulai dari hubungan yang kuat dan rasa percaya yang dalam. Tanpa modal ini, yang terjadi adalah kontrol, bukan pemberdayaan; pemaksaan, bukan pengembangan potensi
🔺 Disiplin positif menekankan pada pentingnya komunikasi; membahas kesepakatan dan 
konsekuensi; dan menyatakan dukungan yang tepat. 
🔺 Proses pelaksanaan disiplin positif adalah belajar dan berdaya, baik antara orang tua, maupun pada anak. Bukan kontrol, hukuman, dan sogokan
🔺 Orang tua harus mampu membedakan yang mana disiplin yang mana rutinitas. Karena seringkali masalah rutinitas dianggap sebagai masalah disiplin. 
🔺 Rutinitas dapat menjadi salah satu cara mengurangi masalah dalam disiplin
🔺 Buat kesepakatan antara anak dengan semua anggota keluarga. Tujuan dibuat kesepakatan adalah untuk memperjelas ekspektasi orang tua, apakah realistis atau tidak realistis untuk anak. Menurut saya kesepakatan juga dapat membantu orang tua untuk memahami tahapan perkembangan anak dengan melihat pada isi kesepakatan yang disebutkan dan dibuat oleh anak.

Peserta Kelas Kurikulum Disiplin Positif
Jadi.. dari semua materi yang saya dapatkan itu, saya menyimpulkan bahwa disiplin positif adalah salah satu cara memanusiakan hubungan yang prosesnya diawali dengan menyadari bahwa semua orang unik dan memiliki keunikan, sehingga dalam membuat kesepakatan dan konsekuensi didasari atas pemahaman atas tahapan perkembangan anak dan kebutuhan perkembangannya itu.

Thursday, November 16, 2017

Dimana Level Suaramu, Anak-Anak?

Saya adalah tipe guru dengan gaya belajar visual kinestetik. Ini juga yang membuat saya sulit berkonsentrasi dan fokus bila berada di suasana atau ruangan yang kurang tenang.
Mengajar anak usia dini tentunya berbeda dengan mengajar robot yang bisa kita atur agar bekerja tanpa mengeluarkan suara yang dapat mengganggu kita. Anak-anak usia dini, yang sedang dalam masa "ledakan" bahasa cenderung aktif mengeksplorasi bahasa, mengeksplorasi suara dan mengesplorasi beragam level ketinggian anda suara. Bagi orang yang memiliki gaya belajar visual kinestetik, yang sama dengan saya, hal ini mungkin bisa menjadi semacam gangguan. Namun tidak adil rasanya jika kita menghentikan kemampuan berbahasa anak yang sedang berkembang tersebut.

Di awal saya mengajar, saya seringkali menerapkan aturan agak anak tidak banyak bersuara saat berkegiatan. Lalu saya pun  menyadari bahwa ini adalah tindakan yang salah, dan tentunya tidak akan bertahan lama jika diterapkan, yang ada nantinya adalah guru yang kelelahan,  menjadi stres dan akhirnya mudah terpicu emosinya

Hingga akhirnya perkenalan saya dengan website pinterest.com memberi solusi atas masalah yang saya hadapi ini.
Emang apa masalahnya? 
Nah masalah saya sih sederhana saja, hanya mencari tahu bagaimana caranya membuat anak tetap aktif tanpa bersuara berlebihan.

Jadi saat iseng-iseng saya mencari informasi tentang manajemen kelas dan menuliskan kata kunci classroom management, saya melihat beberapa tulisan tentang penggunaan level suara. Dari tulisan yang saya baca, penggunaan metode level suara ini banyak digunakan di kelas atas. Menarik sekaligus membuat saya penasaran, apa cara ini bisa juga digunakan untuk mengajar anak usia dini.
Saya pun mulai berdiskusi dengan partner membahas tentang metode ini dan melakukan observasi serta tanya jawab ke anak-anak mengenai topik banyaknya suara di kelas. Ternyata ada sebagian anak-anak yang akhirnya menyadari bahwa mereka agak terganggu dengan suara yang terlalu banyak di kelas saat mereka sedang berkegiatan, yang bahkan dapat membuat mereka teralih dari menuntaskan tugasnya. 

contoh level suara yang saya temukan di Pinterest

contoh level suara yang saya temukan di pinterest
Lalu, kami pun mulai berdiskusi bersama-sama. Saya paparkan apa yang saya rasakan saat berkegiatan di antara suara yang terlalu banyak, saya minta juga beberapa anak untuk menceritakan apa yang mereka rasakan jika berada di situasi yang sama. Kemudian saya dan partner menceritakan pada anak-anak mengenai perbedaan level suara. 

Mulanya anak-anak bingung, namun mereka mulai paham saat kami memberikan contoh. Hingga akhirnya anak-anak sendiri yang menentukan perbedaan level suara dan penggunaannya.
  • Level 0 : semua diam tanpa mengeluarkan suara
  • Level 1 : saat berbisik dengan teman atau bercerita berpasangan
  • Level 2 : saat berdiskusi dalam kelompok kecil, maksimal 3 orang
  • Level 3 : saat berbicara dalam kelompok besar, seperti di depan kelas
  • Level 4 : saat memanggil teman
  • Level 5 : saat berteriak
Metode ini berhasil kami gunakan selama satu semester, bahkan di beberapa anak saat berkomunikasi tetap mengingatkan temannya mengenai penggunaan level suara ini.



Wednesday, November 15, 2017

Melibatkan Anak (Siswa) di Kelas. Memang Bisa??

Tulisan ini tulisan nostalgia namanya.
Kenapa nostalgia, karena isinya dalah cerita saat mengajar di sekolah yang lama. Fix aku belum move on dari yang namanya ngajar, hehe

Well, banyak yang bilang mengajar anak usia dini itu susah-susah gampang. Ini ada benarnya, ada juga gak benarnya. 
Kenapa benar? Karena minat eksplorasi anak sedang tumbuh dan berkembang pesat, sehingga ketika diarahkan ada anak-anak yang mungkin lebih suka mencoba dengan caranya sendiri dibandingkan cara yang disampaikan guru
Kenapa gak benar? Karena si minat eksplorasi ini sebenarnya bisa dijadikan jembatan untuk mengolah dan mengembangkan kemampuan anak di berbagai bidang, seperti sosial interaksi, bahasa, bahkan kebiasaan positif.
Tapi bagaimana caranya? Nah ini yang akan saya bahas.

Sekitar tiga tahun lalu saya pernah mengawali tahun mengajar dengan mengajar sendiri, hanya ditemani guru pendamping ABK, karena partner mengajar saya sedang cuti melahirkan. Bayangkan saja saya yang saat itu guru yang baru masuk tahun ketiga mengajar, memegang 20 anak yang  dalam masa peralihan dari PG ke TK, kebayang ya kalo semua aspek perkembangannya sedang berkembang pesat. Mulanya saya masih bisa mengontrol kelas dengan aturan yang saya buat sendiri, seperti duduk tenang, jangan terlalu banyak suara di kelas, dan sebagainya. Tapi saat anak-anak mulai nyaman di kelas, mulai menemukan teman cerita yang asyik, anak-anak cenderung sulit diarahkan. Saya mulai kewalahan dan harus putar otak bagaimana cara mengatasinya. Saya pun mulai diskusi dengan guru pendamping di kelas, diskusi dengan teman-teman guru lain di sekolah, bahkan dengan pengelola sekolah. Sarannya sama, yaitu melibatkan anak.

Saran untuk melibatkan anak dalam kegiatan kelas cukup aneh buat saya. Awalnya saya pesimis ini akan berhasil, dalam bayangan saya, anak usia dini itu masih minim pengalaman hidupnya (berasa tua banget ya saya), jadi masih harus "disuapi" dengan berbagai pengetahuan dan pengalaman. Tapi saya tetap mencoba sarannya, siapa tahu berhasil. 

Lalu saya mulai melakukan pengamatan pada anak, dan mulai melakukan pendekatan personal. Pendekatan personal di sini dalam artian saya ajak ngobrol anak-anak, saya ikuti cara mereka bermain, dan saya mulai mengajukan pertanyaan seputar kelas, seperti apa rasanya main di kelas yang semua anak-anaknya asyik sendiri dan tidak saling mendengarkan, apa bedanya dengan berada di kelas yang semua orang mau mendengarkan dan mau membantu, dan sebagainya.
Setelah mendapat beberapa jawaban sebagai gambaran perasaan mereka, saya ajak anak-anak berdiskusi bersama-sama. Saya sampaikan apa yang saya rasakan, saya ceritakan pendapat beberapa anak-anak  tentang apa yang mereka rasakan, dan diakhiri dengan membuat kesepakatan kelas.
Saat itu kesepakatan yang berhasil dibuat adalah :
1. Mendengarkan saat ada yang sedang berbicara dan tidak memotong pembicaraan
2. Mengangkat tangan tanpa bersuara saat ingin berbicara atau mengutarakan pendapat
3. Mengingatkan teman untuk menghargai guru dan teman lainnya
Jujur saja saat itu saya merasa bahagia karena ternyata pikiran saya salah, anak-anak bisa kok dilibatkan dalam kegiatan kelas, bahkan sampai-sampai anak-anak bisa juga diajak membuat kesepakatan bersama. Keren banget.

Photo by Larm Rmah on Unsplash

Dalam pelaksanaannya, kesepakatan untuk menghargai orang lain itu berkembang menjadi terbangunnya empati di diri anak. Hal ini terlihat saat saya harus mengajar sendiri, dengan sesekali didampingi guru lain atau pengelola, ketika guru pendamping ABK terpaksa mengundurkan diri karena sakit. Saat itu anak-anak lebih spontan mengingatkan anak lain untuk menghargai guru. Saya pun berfikir rasanya sayang kalau kemampuan mereka hanya berkembang di sini saja, sehingga saya coba untuk mengembangkan lagi empati mereka dengan mengajak berdiskusi tentang teman mereka yang berkebutuhan khusus, apa kira-kira rasanya menjadi anak yang kesulitan belajar, yang sulit mengerti apa yang disampaikan guru atau temannya, apa yang akan mereka lakukan. Anak-anak spontan berkomentar bahwa mereka ingin membantu. Menurut mereka, mereka senang jika dibantu saat kesulitan, mereka juga merasa senang jika bisa membantu teman. Dan saat diskusi bersama, mereka meminta agar hal ini dimasukkan dalam kesepakatan kelas, yaitu membantu teman yang kesulitan. Bentuk bantuan yang diberikan macam-macam, berupa mengajak anak lain untuk ikut membantu, memberi bantuan langsung, atau bahkan menyampaikan dan meminta bantuan guru untuk ikut membantu jika mereka kesulitan. Ternyata kegiatan saling membantu ini berhasil menumbuhkan kebiasaan positif di anak dan membuat terbentuknya peer teaching di antara anak-anak. Hebat ya, saya aja takjub karena ternyata anak-anak bisa kok dilibatkan dalam kegiatan kelas. Bahkan ada banyak hal yang bisa berkembang seiring dengan keterlibatan mereka dalam kegiatan kelas. Seru!!

Jadi jawaban untuk pertanyaan di atas, tentang bisakah anak dilibatkan dalam kegiatan kelas? Jawabannya bisa.
Bagaimana caranya? Banyak, beberapa diantaranya adalah
  1. Observasi kelas, tujuannya untuk mencari tahu apa kebuutuhan kelas, untuk mengetahui karakter kelas - karakter anak, dan untuk mengetahui tahap perkembangan anak
  2. Diskusi dengan partner atau teman guru lain, tujuannya untuk dapat sudut pandang dari guru lain
  3. Atur strategi, lakukan pendekatan, ajak anak diskusi
  4. Evaluasi, refleksi, dan observasi lagi. Begitu seterusnya

Selamat berkegiatan dengan anak

Crispy Waffle

Siapa yang ga doyan makan wafel?
Semua pasti suka kan.

Tapi ternyata dari pengalaman saya memasak, wafel itu ada dua macam loh, wafel yang empuk dan wafel yang crispy. Saya sendiri termasuk penikmat wafel crispy, yang kalo dimakan agak keras gitu.
Jadi pas suami minta dibuatin wafel buat sarapan, saya pun langsung buka yutub dan nyari-nyari resep wafel kesukaan saya. Agak gambling sebenernya, apa bener bisa jadi crispy ato ga. Soalnya enam tahun lalu pas pertama kali bikin wafel, resep yang dicarinya sih resep crispy wafel, tapi entah kenapa hasilnya fluffy waffle, kan bikin sebel. Akhirnya paksu ngasi saran, cari resep dari orang bule aja. Kenapa? Soale masakan begini udah sering mereka masak, jadi resepnya cenderung bener. Ternyata tipsnya berhasil, dan akhirnya, taraaaa.. jadilah wafel yang didam-idamkan itu



CRISPY WAFFLE

Bahan:
1 cup tepung terigu
4 sdm gula pasir
1/2 sdt garam
1/4 sdt baking soda
1 kuning telur
1 cup air
2 sdm mentega dilelehkan
1 putih telur kocok lepas
30 gr keju potong dadu kecil-kecil untuk isian

Cara membuat :
Panaskan wafel toaster terlebih dahulu
Campur terigu, gula, garam dan baking soda, aduk rata
Tambahkan kuning telur dan air, aduk hingga tidak menggumpal
Masukkan mentega yang sudah dilelehkan, aduk hingga licin
Terakhir tambahkan putih telur yang sudah dikocok lepas, aduk hingga adonan tercampur rata
Tuang adonan di atas cetakan, beri keju potong untuk isian
Panggang hingga adonan matang, tambahkan durasi memanggang jika ingin adonan lebih krispi
Dinginkan lalu hidangkan

Selamat mencoba ^^


Tuesday, November 14, 2017

Siapakah Arca Penjaga Candi dan Kraton Itu?

Selamat pagi...

Pagi ini blogwalking ke link beberapa temen di Komunitas Guru Belajar Bandung, Blog bu Miranti dan Pak Iden. Dua link yang diberikan tersebut ternyata ampuh memicu semangat si akuh buat nulis lagi dan mencoba melakukan observasi terkait sejarah. Nah loh kenapa sejarah? Jadi gini ceritanya, alkisah suatu hari, hehe ga ding. Jadi gini, pagi ini seperti biasa ngurus tanaman di teras depan. Terus keinget kalo kemaren baru ngegeser arca batu yang ada di depan pintu masuk ke sisi lain. Pas diamatin, arca batunya mirip sama patung batu yang ada di Candi Sewu. Berhubung pagi ini baca blog pak Iden yang topik bahasannya tentang sejarah, jadi ya penasaranlah pengen tau sejarah tentang si arca ini.

Arca Penjaga di Candi Sewu

Penampakan arca penjaga di rumah saya
Ada banyak sekali pertanyaan di kepala saya tetang arca ini. Yang paling membuat saya penasaran adalah  "Siapa nama arca penjaga Candi itu?"
Lalu muncul pertanyaan lain "Kenapa mereka berjaga di sana?"
Muncul lagi lanjutannya "Kenapa arca yang sama ada juga di pintu Kraton atau bangunan modern saat ini atau bahkan di rumah? Apa maknanya?"
Dan bahkan ada dua pertanyaan lanjutan yang juga membuat saya cukup penasaran  "Apa arca ini hanya ada di Indonesia saja?" dan "Apakah bentuk dan perwujudannya sama semua?"

Dari serangkaian pertanyaan yang muter-muter di kepala itu, saya pun mulai melakukan observasi kecil-kecilan yang cukup untuk menjawab pertanyaan saya. Observasinya ya seperti orang-orang pada umumnya, browsing  di internet, maklum kalo buku saya belum punya literaturnya.

Jadi arca penjaga ini bernama Drawapala. Menurut bahasa Sanskerta, Drawa artinya gerbang atau pintu, dan Pala artinya penjaga atau pelindung. Menurut wikipedia, Drawapala adalah patung penjaga gerbang atau pintu dalam ajaran Siwa (Hindu) dan Budha, berbentuk manusia atau monster yang memegang senjata berupa gada. Arca ini biasa diletakkan di luar gerbang masuk tempat suci atau tempat keramat tersebut. 

Arca Drawapala di gerbang masuk Candi Sewu

Arca Drawapala di gerbang masuk Candi Sewu

Menurut legenda, Drawapala adalah perwujudan dari makhluk astral yang memiliki kemampuan hebat dalam menjaga. Wajahnya memang menyeramkan, tetapi karena ia tidak mengandung aura negatif, maka Drawapala juga diletakkan di gerbang masuk kraton dan gedung perkantoran bahkan rumah saat ini. Keberadaan arca Drawapala ini menyiratkan bahwa bangunan di belakangnya sudah dilindungi.

Arca Drawapala di Gerbang Utara Kraton Surakarta
sumber : Google
Wujud arca Drawapala tidak semuanya sama, tergantung dari mana ia berasal dan maknanya. Di Indonesia, di Jawa khususnya, arca Drawapala diwujudkan dalam bentuk berperawakan gemuk dan dalam posisi tubuh setengah berlutut, menggenggam senjata gada. Sedangkan arca Drawapala di Thailand atau Kamboja berperawakan tubuh lebih langsing dengan posisi tubuh tegak lurus memegang gada tepat di antara kedua kakinya. Posisi peletakan gada pun memiliki arti yang berbeda, jika gada berada di bawah, makan daerah di belakangnya itu menerima dengan baik para pendatang. Sebaliknya jika gada berada di atas artinya tidak semua orang bisa masuk ke dalam wilayah di belakangnya tanpa izin.

Dravapala di Kamboja
Sumber : Google

Dravapala di Thailand
Sumber : Google

Oia sebagai tambahan, di beberapa negara selain Indonesia terdapat juga arca penjaga seperti Drawapala ini, yaitu Khongorishiki atau Nio di Jepang, Heng Ha Er di Tiongkok, dan Narayeongeumgang di Korea.

Nio atau Khongorishiki di salah satu kuil di Jepang
Sumber : Google
Ternyata kalo mau digali lebih dalam dan mau melakukan observasi, pertanyaan yang selama ini dipertanyakan bisa juga ya dicari jawabannya, bahkan bisa dapat banyak ilmu tambahan juga ^^

Wednesday, October 25, 2017

Imajinasi dan Perencanaan

Seperti sebelumnya, pagi ini aku udah di teras rumah buat ngurusin tanaman-tanaman di halaman. Ketika menyiram tanaman monstera, pandanganku tertuju ke deretan pot-pot hitam yang bergantung di sisi pagar dan tersusun rapi di sebuah meja kecil di sudut teras. Seketika langsung timbul keinginan untuk menghias pot itu dnegan beragam gambar. Dan tiba-tiba saja aku teringat pengalamanku (dan partner-ku, Kika) saat mengajak murid-muridku berimajinasi melalui gambar. Saat itu tema pelajaran yang sedang dibahas adalah tentang organisasi diri atau bahasa yang banyak didengar orang adalah how to organize yourself, dengan subtopik tentang membuat perencanaan kegiatan.

Mulanya aku bingung, mengapa harus belajar imanjinasi dulu? Kenapa Kika asyik mengajak anak-anak berimajinasi di awal dan bahkan meminta waktu sekitar satu hingga dua minggu untuk berimajinasi dulu sebelum masuk ke topik aslinya. Apa hubungannya imajinasi dengan organisasi diri? Bukannya keduanya bertolak belakang sekali, yang satu imajinasi yang satunya sangat logis. Ternyata menurut Kika, saat kita ingin membuat perencanaan itu sama artinya dengan mengimajinasikan hal yang belum terjadi. Saat itu aku diam sejenak, mencoba meresapi makna dari perkataan Kika, mencoba menkoneksikan semua bagian yang ia sebutkan. Dan akhirnya aku mengerti dan mengambil kesimpulan bahwa karena perencanaan adalah hal yang kompleks dan mencakup berbagai hal, sehingga butuh kemampuan berimajinasi untuk dapat mengkoneksikan hal tersebut, yang secara tidak langsung juga merangsang kreatifitas diri.

Lalu dimulailah kegiatan kami berimajinasi yang tentunya dikaitkan dasar perencanaan. Saat itu anak-anak diperlihatkan buku "Oh!" karya Josse Goffin yang didalamnya berisi potongan gambar yang bila dibuka ternyata memperlihatkan gambar lain.
Sumber : google
Awalnya kami mengajak anak menebak gambar apa yang ada di balik potongan gambar yang diperlihatkan buku, jawabannya masih beragam dan masih sangat logis, seperti saat diperlihatkan gambar ekor ular yang melengkung dan anak-anak diminta menebak apa benda lain dari gambar itu, jawabannya sebagian besar induk ular, padahal itu bisa saja belalai gajah atau bahkan pegangan cangkir.
Contoh isi buku Oh!
Sumber : google
Setelah bermain tebakan, kami lalu meminta anak membuat perencanaan dua gambar apa yang ingin ia buat yang keduanya saling berkaitan. Disini terlihat sekali bagaimana imajinasi dan perencanaan bisa saling berhubungan. Saat perencanaan, anak memilih benda yang ia ingin gambarkan. Peran imajinasi mulai muncul saat ia harus membuat kedua benda itu saling berkaitan dalam gambar, ia harus mengimajinasikan bagian mana yang ingin dikaitkan, bagaimana ia akan mengaitkannya, apa warna yang akan digunakan, dan sebagainya. Dan ternyata anak-anak bisa berhasil melakukannya. Ada anak yang memilih menggambar kupu-kupu yang saat lembaran kertas lainnya dibuka, potongan sayap tersebut ternyata menjadi sirip ikan, lalu ada anak yang menggambar bunga matahari yang jika dibuka ternyata potongan bunga itu adalah kepala seorang anak lelaki, dan lainnya.

Hasil karya anak-anak

Seru! Itu adalah kata pertama yang diucapkan anak-anak setelah kegiatan ini. Keesokan harinya mereka kembali mencoba melakukan hal yang sama secara mandiri di jam bebas, dan bahkan ada yang melakukannya di rumah dan membawa karyanya ke sekolah. Selanjutnya kami mulai masuk ke kegiatan perencanaan yang sesungguhnya, namun tetap menggunakan cara yang sama, yaitu mengaitkan kegiatan imajinasi dengan perencanaan, melalui gambar tentunya, dan dengan cara yang tidak kalah serunya. 

Lamunanku terhenti oleh suara hujan yang turun, pelan dan semakin deras. Namun ini tidak mengurungkan niatku untuk mengulang kegiatan imajinasi dan perencanaan ini, dengan kembali melanjutkan rencana melukis pot-pot bungaku, sambil mengimajinasikan warna apa yang akan digunakan, bagaimana gambarnya, bagaimana aku mengkombinasikan warnanya jika aku hanya punya satu warna dasar yaitu abu-abu saja, dan sebagainya.

Friday, October 20, 2017

#KamisCrafting : DIY Wire Sign

Hola...

#KamisCrafting minggu ini temanya seputar kawat.
Jadi kita mau bikin wire sign gitu.

Bahan yang dibutuhkan :
  • Kertas A3
  • Alat tulis
  • Kawat diameter 3mm
  • Tang potong dan membengkokkan
  • Lem atau double tape
  • Benang wol atau pita

Cara membuat:
  1. Pertama buat dulu template tulisan yang akan ditiru di atas kertas A3 (ukuran bisa disesuaikan dengan kebutuhan)
  2. Jiplak dan bentuk tulisan yang sudah dibuat menggunakan kawat
  3. Jika sudah jadi, lilit kawat dengan benang wol atau pit
  4. Wire sign siap digunakan 
Selamat mencoba ^^

Berkenalan dengan Komunitas Guru Belajar (KGB)

Menjadi guru bukanlah cta-citaku dari awal. Mulanya aku pengen banget jadi pegawai bank, alasannya sederhana banget, pengen kerja pake baju kantoran, kerjanya teratur, di belakang meja.Tapi takdir berkata lain, kerjaan di belakang meja yang penuh keteraturan ternyata kurang cocok buatku. Lalu di awal tahun 2010 aku memberanikan diri melamar jadi guru TK di salah satu sekolah di dekat rumah. Alhamdulillah keterima, dan inilah awal perjalanan aku sebagai guru.

Sekitar tiga tahun lalu Pak Bukik Setiawan datang bersama ibu Unun, mereka menjelaskan bahwa ada karir lain buat guru selain melalui jalur struktural. Ini jelas membuat aku penasaran, karena sejujurnya karir di jalur struktural bukanlah prioritas utamaku. Selain itu mereka juga menceritakan tentang adanya komunitas buat guru-guru yang aktif berbagi cerita pengalaman mengajar mereka. Namanya Komunitas Guru Belajar. Ini menarik, karena sebagai guru, aku merasa harus terus belajar agar otaknya tetap aktif dan selalu ada 'penyegaran' ilmu tentang belajar dan mengajar. Awalnya aku pikir guru yang bergabung di grup KGB ini hanyalah guru pilihan, ternyata siapa pun bisa, asal mau berbagi dan mau terlibat dalam penyebaran praktek baik dalam mengajar dan belajar. Kemudian aku pun ikut bergabung di grup KGB Bandung.

Di grup KGB Bandung, ada banyak sekali guru-guru yang berbagi tentang pengalaman mengajar mereka, tentang situasi kelasnya, info-info seputar belajar mengajar, dan tak jarang banyak terjadi diskusi tentang beragam topik ini. Sejujurnya, aku ingin sekali ikut memberi komentar atau bahkan ikut berbagi juga, namun rutinitas yang padat ternyata membuat hal ini akhirnya hanya jadi sekedar niat.

Bersama Ibu Lany

Setelah menikah dan hijrah ke Jakarta, aku mengontak Ibu Lany, seorang penggerak di Komunitas Guru Belajar. Aku menanyakan apakah boleh jika bergabung di dua grup KGB, yaitu KGB Jakarta dan KGB Bandung. Alhamdulillah responnya positif, dan aku diberi link untuk bergabung dengan KGB Jakarta Pusat. Setelah bergabung di KGB Jakpus, aku memutuskan menjadi penggerak, dengan harapan bisa lebih aktif menyebaran praktik baik dan bisa menginspirasi teman grup lainnya untuk ikut berbagi juga. Allah Maha Baik, taklama setelah bergabung, aku mendapat beasiswa untuk mengikuti kegiatan Temu Pendidik Nusantara, dan bisa mengikuti kegiatan di kelas khusus penggerak yang tentunya berisi ilmu untuk menjadi salah satu agen penggerak praktik baik pendidikan. Syukurlah, semoga niat baik ini bisa terlaksana dan bisa terus memberi kontribusi positif tentang pendidikan dan pengajaran.

Sebagian teman-teman KGB Jakarta

Sunday, October 15, 2017

New Me..

Holaaaaa....

Setelah dua tahun lebih, nyaris tiga tahun, akhirnya kembali mencoba menulis lagi.
Tapi sebelum mulai menulis, mau pamer dulu ah kalo sekarang si aku udah ga sendiri lagi, alias udah punya suami. Yeay!!

Ibuk Iin dan Bapak Dimas


Bahagia ga punya suami? Bahagia dong
Seneng ga? Seneng banget
Kenapa seneng? Karena sekarang punya teman berbagi, punya temen diskusi, setelah sebelumnya cuma diskusi sama temen cewe, ato sama guru. Sekarang teman diskusinya beda dari sebelumnya jadi sudut pandangnya beda dan bikin lebih kaya, bikin lebih bahagia, hehe

Doakan tahun depan keluarga kecil kami dikasi kepercayaan untuk nambah anggota keluarga baru yaa ^^