Saturday, November 25, 2017

Kelas Disiplin Positif Keluarga Kita : Pengelolaan Emosi

Saat pertama kali tau tentang Keluarga Kita, saya langsung tertarik dan mulai mencari tahu lebih banyak tentang komunitas ini. Awalnya saya ragu untuk bergabung, karena dalam pikiran saya hanya ibu-ibu beranak saja yang bisa ikutan. Ternyata eh ternyata itu pemikiran yang salah.

Keluarga Kita dikelola oleh relawan yang disebut sebagai Rangkul (Relawan Keluarga Kita).
Rangkul ini adalah sebuah program pemberdayaan keluarga yang diinisiasi oleh Keluarga Kita dengan dukungan berbagai kalangan di berbagai daerah. Yang artinya saya yang belum beranak pun bisa ikutan jadi Rangkul, untuk ikut menyebarkan praktik baik tentang pengasuhan dan belajar lebih banyak dan dari sudut pandang berbeda tentang pengasuhan melalui kelas berbagi cerita, yang tujuannya adalah untuk perkembangan anak.

Ada tiga materi utama (kurikulum) yang dibahas dalam kegiatan Keluarga Kita, salah satunya adalah Disiplin Positif.
Disiplin Positif ini sesungguhnya adalah bagian kedua dari kurikulum yang dipelajari, setelah Hubungan Reflektif dan sebelum Belajar Efektif.
Jika Hubungan Reflektif belajar tentang pemahaman diri orang tua (orang dewasa) dan memiliki hubungan yang baik, Belajar Efektif belajar tentang bagaimana menumbuhkan anak cerdas dengan memberikan proses belajar yang menantang dan menyenangkan, maka Disiplin Positif berfokus pada topik anak yang mandiri tumbuh dari penerapan pola disiplin tanpa kekerasan, hukuman, dan sogokan.


Tahap awal belajar menerapkan disiplin positif adalah memahami dulu perkembangan anak.
Mengapa memahami tahap perkembangan anak menjadi penting?
Hal ini tak lain agar orang tua dapat melihat anak secara utuh dan memiliki ekspektasi yang realistis atas perkembangan dan pencapaian anak.

Ada empat aspek perkembangan anak yang harus diperhatikan orang tua

  1. Aspek sosial emosi, meliputi hal yang dirasakan tentang diri, hubungan / berelasi dengan diri dan orang lain, manajemen emosi
  2. Aspek kognitif, membahas mengenai proses pembentukan berpikir sejak lahir hingga dewasa yang meliputi kemampuan mengingat, kemampuan belajar, kemampuan memecahkan masalah, kemampuan membuat keputusan, dan sebagainya
  3. Aspek fisik, membahas mengenai proses perkembangan motorik kasar dan halus, yang meliputi kemampuan mengontrol, kordinasi, keseimbangan, dan kekuatan (tubuh dan otot)
  4. Aspek bahasa, membahas kemampuan berkomunikasi, meliputi komunikasi lisan, tulisan, mendengar, berbicara, menulis, membaca, termasuk juga komunikasi visual.
Keempat aspek ini membantu orang tua untuk masuk ke masalah disiplin diri. Caranya adalah dengan menerima keunikan anaknya tanpa membandingkan dengan anak lain, sehingga orang tua bisa membangun rutinitas yang berujung pada disiplin positif, yang memang disesuaikan dengan kemampuan anak dan dengan ekspektasi orang tua yang realistis.

Untuk memahami apakah ekspektasi yang ditetapkan orang tua sudah tepat atau sudah realistis atau belum, orang tua haruslah memahami dulu emosi yang melekat di dirinya, agar ia dapat mengambil langkah pengelolaan emosi yang tepat juga.

Berikut adalah 5 emosi dominan pada orang tua dan cara penanganannya:

1. Emosi Marah 
Emosi ini paling terlihat jelas wujudnya dibanding emosi lain. 
Biasa terjadi saat ekspektasi ke anak yang terlalu tinggi dan ada perasaan tidak bisa memenuhi ekspektasi diri yang sudah ditetapkan. 
Cara mengatasinya adalah dengan cara menangkan diri lebih dahulu. Setelah tenang, kemukakan bahwa kita marah, lalu fokus bahas masalah disiplin yang dilanggar, bukan hal penyerta lainnya. Pastikan juga kalau kita selalu siap dengan emosi marah ini, sehingga kita bisa tahu cara mengatasi atau menurunkan tensinya.

2. Emosi Merasa Bersalah
Biasa dialami perempuan, dan terjadi karena ekspektasi yang terlalu rendah pada anak.
Cara mengatasinya adalah dengan mencari support group yang bisa memahami, menerima dan paling penting membantu memberi soslusi penanganan. Setelah itu fokuslah pada tujuan perkembangan anak dan tujuan jangka panjang, sehingga bebas dari "manipulasi" yang ada (anak).

3. Emosi Tidak Enakkan
Terjadi karena ekspektasi yang terlalu rendah pada anak
Cara mengatasinya adalah dengan selalu melihat pada tahap perkembangan anak dan mencoba bersikap sesuai dengan tahap perkembangan anak itu. 
Jika ini terjadi, orang tua harus menyadari bahwa sikap khawatirnya dapat membuata anka merasa tidak dipercaya dan pasti berdampak buruk pada tahapan perkembangannya di masa mendatang.

4. Emosi Khawatir
Terjadi karena ekspektasi yang terlalu rendah atau terlalu tinggi pada anak.
Cara mengatasinya adalah dengan memberi latihan untuk mempersiapkan anak mengahadapi beragam situasi.

5. Emosi Ingin Mendapat Pengakuan
Terjadi karena rasa egosentris di diri orang tua, dimana orang tua berfokus pada pandangan orang lain tentang dirinya, dan kebutuhan untuk dianggap dengan label tertentu
Cara mengatasinya adalah dengan menyadari keberadaan emosi anak. Lalu orang tua lansung lompat ke emosi anak, bukan ke dirinya. Empati dengan emosi anak. Ajak anak mencari suasana tenag, redakan emosinya, lalu bahas kesepakatan yang sudah dibuat. 
Catatan penting yang harus diingat juga adalah pastikan bahwa orang tua sudah melakukan rutinitas dan kesepakatan dengan anak dan keluarga


Ternyata topik emosi ini penting sekali diketahui orang tua. Dan menurut saya ini menjadi dasar untuk masuk ke tahapan lain dalam membangun disiplin positif di keluarga selain memahami tahapan perkembangan anak.



Cerita tentang topik lain akan dibahas di tulisan selanjutnya. Atau bisa baca buku Keluarga Kita yang ditulis ibu Najelaa Shihab untuk tahu lebih banyak lagi masalah ini. Atau lihat disini untuk tau dari sudut pandang guru.

Disiplin Positif

Pertama kali mendengar kata Disiplin Positif, yang ada di benak saya adalah cara penanganan anak jaman now. Lalu beberapa waktu kemudian, saya kembali mendengar kata ini di penjelasan mengenai kurikulum Komunitas Keluarga Kita (KK). Dan belakangan ini saya kembali mendengar kata ini saat bergabung dalam Komunitas Guru Belajar (KGB).

Sebenarnya apa sih Disiplin Positif itu?
Mengapa kata-kata ini seperti jadi tren tersendiri di dunia perparentingan?

Jumat, 4 November 2017 yang lalu, di diskusi Temu Pendidik Mingguan KGB, narasumber saat itu, Guru Mahayu, membawa topik tentang disiplin positif sebagai bahan diskusi. Saat itu saya merasa senang, karena sedikit banyak pertanyaan saya akan segera mendapatkan jawabannya. Ternyata benar saja, saya dapat menemukan poin penting dari diskusi yang terjadi, meskipun saat itu saya hanya menjadi peserta pasif saja. 

Beberapa poin penting yang saya ambil dari bahasan guru Mahayu, yaitu
🔺 Disiplin positif bertujuan tidak hanya untuk patuh pada peraturan, tapi juga merupakan kemampuan untuk mengelola diri, mengetahui mana yang baik dan tidak untuk dirinya.
🔺 Libatkan anak dalam membuat peraturan atau kesepakatan dalam kelas
🔺 Pahami peran atau posisi kontrol kita dalam interaksi dengan murid. Ada lima posisi kontrol guru. Kelimanya memiliki kelebihan dan kekurangannya masing-masing. Namun untuk mendapat hasil dalam jangka panjang disarankan guru berada dalam posisi ke-4 dan ke-5.
🔺 Posisi kontrol tersebut adalah :
    1. Menjadi penghukum
    2. Menjadi Pembuat Rasa Bersalah
    3. Menjadi Teman
    4. Menjadi Pengawas
    5. Menjadi Manager

Sampai di sini pertanyaan saya cukup terjawab.
Kemudian seminggu setelahnya, di kegiatan yang sama, di Temu Pendidik Mingguan KGB, saya kembali mendapat tambahan jawaban atas pertanyaan saya mengenai disiplin positif ini.
Saat itu narasumber, Guru Mia Savitri, membawakan materi tentang Memanusiakan Hubungan, namun ia menyertakan materi disiplin positif juga dalam bahasannya, dan bahkan ia mengaitkan keduanya, antara memanusiakan hubungan dan disiplin positif, menjadi satu kesatuan. 

Berikut adalah poin penting yang saya ambil dari bahasan yang Guru Mia sampaikan, yaitu
🔻 Memanusiakan hubungan berarti menyadari bahwa setiap pribadi adalah unik dan memiliki keunikan. Dan dalam setiap keunikannya itu, setiap pribadi memiliki harapan dan layak mendapat  kepercayaan
🔻 Guru dan orang tua memiliki peran penting dalam proses memanusiakan hubungan, diantaranya dengan :
  🔽 Menyadari bahwa setiap anak unik dan memiliki keunikan (ini tambahan penting menurut saya)
  🔽 Mengenali karakter, keunikan, dan kebutuhan setiap anak
  🔽 Menghargai ide / gagasan / inisiatif / kebutuhan anak
  🔽 Menfasilitasi hal-hal di atas dengan membuat kesepakatan bersama
🔻 Memanusiakan hubungan adalah pondasi awal untuk membangun komunikasi positif dengan anak, yaitu antara guru dan murid atau orang tua dan anak. Sehingga dapat dikatakan bahwa komunikasi positif adalah perwujudan dari memanusiakan hubungan.
🔻 Komunikasi positif dapat menjadi dasar dari penerapan disiplin positif yang pada akhirnya berpusat pada perkembangan anak di masa depannya. 
🔻 Dengan menerapkan disiplin positif, anak-anak diharapkan mampu :
     a. Mengembangkan perilaku positif yang bertahan dalam jangka panjang
     b. Mengembangkan kemampuan untuk mengelola diri dan tahan godaan
     c. Mengembangkan motivasi internal (kemampuan melakukan hal positif atas dorongan diri bukan atas suruhan orang lain)  dengan pembiasaan sejak diri

flow chart kaitan memanusiakan hubungan dan disiplin positif yang saya simpulkan
Tambahan penjelasan ini menambah lagi pemahaman saya mengenai disiplin positif, meskipun awalnya cukup membingungkan saya, hehe. 

Lalu dua hari yang lalu, Kamis, 23 November 2017, saya mengikuti kelas kurikulum Keluarga Kita dengan topik mengenai Disiplin Positif. Hati saya bersorak gembira, karena saya yakin akan mendapat tambahan penjelasan lain yang akan melengkapi pemahaman saya. Bahkan mungkin memperluas wawasan saya, karena saya akan melihatnya dari sudut pandang orang tua.

Buklet materi Disiplin Positif dari Keluarga Kita
Kelas kurikulum Keluarga Kita dipandu langsung oleh Ibu Najelaa Shihab selaku founder dari Keluarga Kita. Materinya dibagi dalam beberapa bagian dan berlangsung selama lebih kurang enam jam. Saat mengikuti kelasnya, saya kembali merasa bersyukur karena keyakinan saya berbuah hasil, saya kembali mendapat beberapa poin penting dari materi yang disampaikan yang ternyata tidak berbeda jauh dengan pendapat dari sudut pandang guru, bahkan melengkapi materi yang sudah disampaikan guru-guru tersebut.

Poin penting yang saya dapat dari kelas Kurikulum Disiplin Positif  Keluarga Kita, yaitu
🔺 Untuk menerapkan disiplin positif, orang tua harus tahu dulu tahapan perkembangan anak dan  berespon positif dalam meresponnya. Orang tua juga harus dapat mengelola emosinya dengan tepat (topik ini tuliskan di sini ^^) 
🔺 Memahami perkembangan anak secara menyeluruh membantu orang tua untuk melihat anak secara utuh dan memiliki ekspektasi yang realistis atas perkembangan dan pencapaian anak.   
🔺 Menurut ibu Najelaa Shihab, disiplin diri anak dimulai dari hubungan yang kuat dan rasa percaya yang dalam. Tanpa modal ini, yang terjadi adalah kontrol, bukan pemberdayaan; pemaksaan, bukan pengembangan potensi
🔺 Disiplin positif menekankan pada pentingnya komunikasi; membahas kesepakatan dan 
konsekuensi; dan menyatakan dukungan yang tepat. 
🔺 Proses pelaksanaan disiplin positif adalah belajar dan berdaya, baik antara orang tua, maupun pada anak. Bukan kontrol, hukuman, dan sogokan
🔺 Orang tua harus mampu membedakan yang mana disiplin yang mana rutinitas. Karena seringkali masalah rutinitas dianggap sebagai masalah disiplin. 
🔺 Rutinitas dapat menjadi salah satu cara mengurangi masalah dalam disiplin
🔺 Buat kesepakatan antara anak dengan semua anggota keluarga. Tujuan dibuat kesepakatan adalah untuk memperjelas ekspektasi orang tua, apakah realistis atau tidak realistis untuk anak. Menurut saya kesepakatan juga dapat membantu orang tua untuk memahami tahapan perkembangan anak dengan melihat pada isi kesepakatan yang disebutkan dan dibuat oleh anak.

Peserta Kelas Kurikulum Disiplin Positif
Jadi.. dari semua materi yang saya dapatkan itu, saya menyimpulkan bahwa disiplin positif adalah salah satu cara memanusiakan hubungan yang prosesnya diawali dengan menyadari bahwa semua orang unik dan memiliki keunikan, sehingga dalam membuat kesepakatan dan konsekuensi didasari atas pemahaman atas tahapan perkembangan anak dan kebutuhan perkembangannya itu.

Thursday, November 16, 2017

Dimana Level Suaramu, Anak-Anak?

Saya adalah tipe guru dengan gaya belajar visual kinestetik. Ini juga yang membuat saya sulit berkonsentrasi dan fokus bila berada di suasana atau ruangan yang kurang tenang.
Mengajar anak usia dini tentunya berbeda dengan mengajar robot yang bisa kita atur agar bekerja tanpa mengeluarkan suara yang dapat mengganggu kita. Anak-anak usia dini, yang sedang dalam masa "ledakan" bahasa cenderung aktif mengeksplorasi bahasa, mengeksplorasi suara dan mengesplorasi beragam level ketinggian anda suara. Bagi orang yang memiliki gaya belajar visual kinestetik, yang sama dengan saya, hal ini mungkin bisa menjadi semacam gangguan. Namun tidak adil rasanya jika kita menghentikan kemampuan berbahasa anak yang sedang berkembang tersebut.

Di awal saya mengajar, saya seringkali menerapkan aturan agak anak tidak banyak bersuara saat berkegiatan. Lalu saya pun  menyadari bahwa ini adalah tindakan yang salah, dan tentunya tidak akan bertahan lama jika diterapkan, yang ada nantinya adalah guru yang kelelahan,  menjadi stres dan akhirnya mudah terpicu emosinya

Hingga akhirnya perkenalan saya dengan website pinterest.com memberi solusi atas masalah yang saya hadapi ini.
Emang apa masalahnya? 
Nah masalah saya sih sederhana saja, hanya mencari tahu bagaimana caranya membuat anak tetap aktif tanpa bersuara berlebihan.

Jadi saat iseng-iseng saya mencari informasi tentang manajemen kelas dan menuliskan kata kunci classroom management, saya melihat beberapa tulisan tentang penggunaan level suara. Dari tulisan yang saya baca, penggunaan metode level suara ini banyak digunakan di kelas atas. Menarik sekaligus membuat saya penasaran, apa cara ini bisa juga digunakan untuk mengajar anak usia dini.
Saya pun mulai berdiskusi dengan partner membahas tentang metode ini dan melakukan observasi serta tanya jawab ke anak-anak mengenai topik banyaknya suara di kelas. Ternyata ada sebagian anak-anak yang akhirnya menyadari bahwa mereka agak terganggu dengan suara yang terlalu banyak di kelas saat mereka sedang berkegiatan, yang bahkan dapat membuat mereka teralih dari menuntaskan tugasnya. 

contoh level suara yang saya temukan di Pinterest

contoh level suara yang saya temukan di pinterest
Lalu, kami pun mulai berdiskusi bersama-sama. Saya paparkan apa yang saya rasakan saat berkegiatan di antara suara yang terlalu banyak, saya minta juga beberapa anak untuk menceritakan apa yang mereka rasakan jika berada di situasi yang sama. Kemudian saya dan partner menceritakan pada anak-anak mengenai perbedaan level suara. 

Mulanya anak-anak bingung, namun mereka mulai paham saat kami memberikan contoh. Hingga akhirnya anak-anak sendiri yang menentukan perbedaan level suara dan penggunaannya.
  • Level 0 : semua diam tanpa mengeluarkan suara
  • Level 1 : saat berbisik dengan teman atau bercerita berpasangan
  • Level 2 : saat berdiskusi dalam kelompok kecil, maksimal 3 orang
  • Level 3 : saat berbicara dalam kelompok besar, seperti di depan kelas
  • Level 4 : saat memanggil teman
  • Level 5 : saat berteriak
Metode ini berhasil kami gunakan selama satu semester, bahkan di beberapa anak saat berkomunikasi tetap mengingatkan temannya mengenai penggunaan level suara ini.



Wednesday, November 15, 2017

Melibatkan Anak (Siswa) di Kelas. Memang Bisa??

Tulisan ini tulisan nostalgia namanya.
Kenapa nostalgia, karena isinya dalah cerita saat mengajar di sekolah yang lama. Fix aku belum move on dari yang namanya ngajar, hehe

Well, banyak yang bilang mengajar anak usia dini itu susah-susah gampang. Ini ada benarnya, ada juga gak benarnya. 
Kenapa benar? Karena minat eksplorasi anak sedang tumbuh dan berkembang pesat, sehingga ketika diarahkan ada anak-anak yang mungkin lebih suka mencoba dengan caranya sendiri dibandingkan cara yang disampaikan guru
Kenapa gak benar? Karena si minat eksplorasi ini sebenarnya bisa dijadikan jembatan untuk mengolah dan mengembangkan kemampuan anak di berbagai bidang, seperti sosial interaksi, bahasa, bahkan kebiasaan positif.
Tapi bagaimana caranya? Nah ini yang akan saya bahas.

Sekitar tiga tahun lalu saya pernah mengawali tahun mengajar dengan mengajar sendiri, hanya ditemani guru pendamping ABK, karena partner mengajar saya sedang cuti melahirkan. Bayangkan saja saya yang saat itu guru yang baru masuk tahun ketiga mengajar, memegang 20 anak yang  dalam masa peralihan dari PG ke TK, kebayang ya kalo semua aspek perkembangannya sedang berkembang pesat. Mulanya saya masih bisa mengontrol kelas dengan aturan yang saya buat sendiri, seperti duduk tenang, jangan terlalu banyak suara di kelas, dan sebagainya. Tapi saat anak-anak mulai nyaman di kelas, mulai menemukan teman cerita yang asyik, anak-anak cenderung sulit diarahkan. Saya mulai kewalahan dan harus putar otak bagaimana cara mengatasinya. Saya pun mulai diskusi dengan guru pendamping di kelas, diskusi dengan teman-teman guru lain di sekolah, bahkan dengan pengelola sekolah. Sarannya sama, yaitu melibatkan anak.

Saran untuk melibatkan anak dalam kegiatan kelas cukup aneh buat saya. Awalnya saya pesimis ini akan berhasil, dalam bayangan saya, anak usia dini itu masih minim pengalaman hidupnya (berasa tua banget ya saya), jadi masih harus "disuapi" dengan berbagai pengetahuan dan pengalaman. Tapi saya tetap mencoba sarannya, siapa tahu berhasil. 

Lalu saya mulai melakukan pengamatan pada anak, dan mulai melakukan pendekatan personal. Pendekatan personal di sini dalam artian saya ajak ngobrol anak-anak, saya ikuti cara mereka bermain, dan saya mulai mengajukan pertanyaan seputar kelas, seperti apa rasanya main di kelas yang semua anak-anaknya asyik sendiri dan tidak saling mendengarkan, apa bedanya dengan berada di kelas yang semua orang mau mendengarkan dan mau membantu, dan sebagainya.
Setelah mendapat beberapa jawaban sebagai gambaran perasaan mereka, saya ajak anak-anak berdiskusi bersama-sama. Saya sampaikan apa yang saya rasakan, saya ceritakan pendapat beberapa anak-anak  tentang apa yang mereka rasakan, dan diakhiri dengan membuat kesepakatan kelas.
Saat itu kesepakatan yang berhasil dibuat adalah :
1. Mendengarkan saat ada yang sedang berbicara dan tidak memotong pembicaraan
2. Mengangkat tangan tanpa bersuara saat ingin berbicara atau mengutarakan pendapat
3. Mengingatkan teman untuk menghargai guru dan teman lainnya
Jujur saja saat itu saya merasa bahagia karena ternyata pikiran saya salah, anak-anak bisa kok dilibatkan dalam kegiatan kelas, bahkan sampai-sampai anak-anak bisa juga diajak membuat kesepakatan bersama. Keren banget.

Photo by Larm Rmah on Unsplash

Dalam pelaksanaannya, kesepakatan untuk menghargai orang lain itu berkembang menjadi terbangunnya empati di diri anak. Hal ini terlihat saat saya harus mengajar sendiri, dengan sesekali didampingi guru lain atau pengelola, ketika guru pendamping ABK terpaksa mengundurkan diri karena sakit. Saat itu anak-anak lebih spontan mengingatkan anak lain untuk menghargai guru. Saya pun berfikir rasanya sayang kalau kemampuan mereka hanya berkembang di sini saja, sehingga saya coba untuk mengembangkan lagi empati mereka dengan mengajak berdiskusi tentang teman mereka yang berkebutuhan khusus, apa kira-kira rasanya menjadi anak yang kesulitan belajar, yang sulit mengerti apa yang disampaikan guru atau temannya, apa yang akan mereka lakukan. Anak-anak spontan berkomentar bahwa mereka ingin membantu. Menurut mereka, mereka senang jika dibantu saat kesulitan, mereka juga merasa senang jika bisa membantu teman. Dan saat diskusi bersama, mereka meminta agar hal ini dimasukkan dalam kesepakatan kelas, yaitu membantu teman yang kesulitan. Bentuk bantuan yang diberikan macam-macam, berupa mengajak anak lain untuk ikut membantu, memberi bantuan langsung, atau bahkan menyampaikan dan meminta bantuan guru untuk ikut membantu jika mereka kesulitan. Ternyata kegiatan saling membantu ini berhasil menumbuhkan kebiasaan positif di anak dan membuat terbentuknya peer teaching di antara anak-anak. Hebat ya, saya aja takjub karena ternyata anak-anak bisa kok dilibatkan dalam kegiatan kelas. Bahkan ada banyak hal yang bisa berkembang seiring dengan keterlibatan mereka dalam kegiatan kelas. Seru!!

Jadi jawaban untuk pertanyaan di atas, tentang bisakah anak dilibatkan dalam kegiatan kelas? Jawabannya bisa.
Bagaimana caranya? Banyak, beberapa diantaranya adalah
  1. Observasi kelas, tujuannya untuk mencari tahu apa kebuutuhan kelas, untuk mengetahui karakter kelas - karakter anak, dan untuk mengetahui tahap perkembangan anak
  2. Diskusi dengan partner atau teman guru lain, tujuannya untuk dapat sudut pandang dari guru lain
  3. Atur strategi, lakukan pendekatan, ajak anak diskusi
  4. Evaluasi, refleksi, dan observasi lagi. Begitu seterusnya

Selamat berkegiatan dengan anak

Crispy Waffle

Siapa yang ga doyan makan wafel?
Semua pasti suka kan.

Tapi ternyata dari pengalaman saya memasak, wafel itu ada dua macam loh, wafel yang empuk dan wafel yang crispy. Saya sendiri termasuk penikmat wafel crispy, yang kalo dimakan agak keras gitu.
Jadi pas suami minta dibuatin wafel buat sarapan, saya pun langsung buka yutub dan nyari-nyari resep wafel kesukaan saya. Agak gambling sebenernya, apa bener bisa jadi crispy ato ga. Soalnya enam tahun lalu pas pertama kali bikin wafel, resep yang dicarinya sih resep crispy wafel, tapi entah kenapa hasilnya fluffy waffle, kan bikin sebel. Akhirnya paksu ngasi saran, cari resep dari orang bule aja. Kenapa? Soale masakan begini udah sering mereka masak, jadi resepnya cenderung bener. Ternyata tipsnya berhasil, dan akhirnya, taraaaa.. jadilah wafel yang didam-idamkan itu



CRISPY WAFFLE

Bahan:
1 cup tepung terigu
4 sdm gula pasir
1/2 sdt garam
1/4 sdt baking soda
1 kuning telur
1 cup air
2 sdm mentega dilelehkan
1 putih telur kocok lepas
30 gr keju potong dadu kecil-kecil untuk isian

Cara membuat :
Panaskan wafel toaster terlebih dahulu
Campur terigu, gula, garam dan baking soda, aduk rata
Tambahkan kuning telur dan air, aduk hingga tidak menggumpal
Masukkan mentega yang sudah dilelehkan, aduk hingga licin
Terakhir tambahkan putih telur yang sudah dikocok lepas, aduk hingga adonan tercampur rata
Tuang adonan di atas cetakan, beri keju potong untuk isian
Panggang hingga adonan matang, tambahkan durasi memanggang jika ingin adonan lebih krispi
Dinginkan lalu hidangkan

Selamat mencoba ^^


Tuesday, November 14, 2017

Siapakah Arca Penjaga Candi dan Kraton Itu?

Selamat pagi...

Pagi ini blogwalking ke link beberapa temen di Komunitas Guru Belajar Bandung, Blog bu Miranti dan Pak Iden. Dua link yang diberikan tersebut ternyata ampuh memicu semangat si akuh buat nulis lagi dan mencoba melakukan observasi terkait sejarah. Nah loh kenapa sejarah? Jadi gini ceritanya, alkisah suatu hari, hehe ga ding. Jadi gini, pagi ini seperti biasa ngurus tanaman di teras depan. Terus keinget kalo kemaren baru ngegeser arca batu yang ada di depan pintu masuk ke sisi lain. Pas diamatin, arca batunya mirip sama patung batu yang ada di Candi Sewu. Berhubung pagi ini baca blog pak Iden yang topik bahasannya tentang sejarah, jadi ya penasaranlah pengen tau sejarah tentang si arca ini.

Arca Penjaga di Candi Sewu

Penampakan arca penjaga di rumah saya
Ada banyak sekali pertanyaan di kepala saya tetang arca ini. Yang paling membuat saya penasaran adalah  "Siapa nama arca penjaga Candi itu?"
Lalu muncul pertanyaan lain "Kenapa mereka berjaga di sana?"
Muncul lagi lanjutannya "Kenapa arca yang sama ada juga di pintu Kraton atau bangunan modern saat ini atau bahkan di rumah? Apa maknanya?"
Dan bahkan ada dua pertanyaan lanjutan yang juga membuat saya cukup penasaran  "Apa arca ini hanya ada di Indonesia saja?" dan "Apakah bentuk dan perwujudannya sama semua?"

Dari serangkaian pertanyaan yang muter-muter di kepala itu, saya pun mulai melakukan observasi kecil-kecilan yang cukup untuk menjawab pertanyaan saya. Observasinya ya seperti orang-orang pada umumnya, browsing  di internet, maklum kalo buku saya belum punya literaturnya.

Jadi arca penjaga ini bernama Drawapala. Menurut bahasa Sanskerta, Drawa artinya gerbang atau pintu, dan Pala artinya penjaga atau pelindung. Menurut wikipedia, Drawapala adalah patung penjaga gerbang atau pintu dalam ajaran Siwa (Hindu) dan Budha, berbentuk manusia atau monster yang memegang senjata berupa gada. Arca ini biasa diletakkan di luar gerbang masuk tempat suci atau tempat keramat tersebut. 

Arca Drawapala di gerbang masuk Candi Sewu

Arca Drawapala di gerbang masuk Candi Sewu

Menurut legenda, Drawapala adalah perwujudan dari makhluk astral yang memiliki kemampuan hebat dalam menjaga. Wajahnya memang menyeramkan, tetapi karena ia tidak mengandung aura negatif, maka Drawapala juga diletakkan di gerbang masuk kraton dan gedung perkantoran bahkan rumah saat ini. Keberadaan arca Drawapala ini menyiratkan bahwa bangunan di belakangnya sudah dilindungi.

Arca Drawapala di Gerbang Utara Kraton Surakarta
sumber : Google
Wujud arca Drawapala tidak semuanya sama, tergantung dari mana ia berasal dan maknanya. Di Indonesia, di Jawa khususnya, arca Drawapala diwujudkan dalam bentuk berperawakan gemuk dan dalam posisi tubuh setengah berlutut, menggenggam senjata gada. Sedangkan arca Drawapala di Thailand atau Kamboja berperawakan tubuh lebih langsing dengan posisi tubuh tegak lurus memegang gada tepat di antara kedua kakinya. Posisi peletakan gada pun memiliki arti yang berbeda, jika gada berada di bawah, makan daerah di belakangnya itu menerima dengan baik para pendatang. Sebaliknya jika gada berada di atas artinya tidak semua orang bisa masuk ke dalam wilayah di belakangnya tanpa izin.

Dravapala di Kamboja
Sumber : Google

Dravapala di Thailand
Sumber : Google

Oia sebagai tambahan, di beberapa negara selain Indonesia terdapat juga arca penjaga seperti Drawapala ini, yaitu Khongorishiki atau Nio di Jepang, Heng Ha Er di Tiongkok, dan Narayeongeumgang di Korea.

Nio atau Khongorishiki di salah satu kuil di Jepang
Sumber : Google
Ternyata kalo mau digali lebih dalam dan mau melakukan observasi, pertanyaan yang selama ini dipertanyakan bisa juga ya dicari jawabannya, bahkan bisa dapat banyak ilmu tambahan juga ^^